Kantor Kecamatan Malangbong Kabupaten Garut

Cari Blog Ini

Jumat, 20 November 2009

Metode Penelitian Sosial


BAB I
PENGETAHUAN, ILMU, DAN PENGETAHUAN ILMIAH


1. Pengantar

            Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah pengetahuan, ilmu pengetahuan, penemuan, atau bahkan pengalaman-pengalaman yang lebih praktis.
            Semua orang mengetahui apa itu ilmu pengetahuan atau pengetahuan. Dokter, guru, insinyur, atau setiap orang yang memiliki predikat ahli di bidangnya, mengetahui apa yang disebut pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Bahkan orang awam pun mengetahui konsep tersebut. Namun tentu saja ada perbedaan dalam memahami hakekat dari konsep ilmu dan pengetahuan dimaksud.
            Bagi seseorang, ilmu adalah pola berpikir tertentu, sedangkan bagi orang lain barangkali suatu pekerjaan yang banyak melibatkan fasilitas laboratorium. Bagi orang awam, ilmu sama dengan pengetahuan, namun bagi ilmuwan, ilmu bukanlah sekadar pengetahuan.
            Di sini ilmu bukan seperti itu maknanya, namun lebih sebagai suatu metode penemuan, yakni cara dalam mempelajari dan mengetahui segala sesuatu di sekitar kita (Babbie,1989:2). Ia memang berbeda dengan cara mempelajari dan mengetahui dunia sekitar melalui pendekatan lain, karena dalam ilmu, terdapat beberapa karakteristik tertentu yang mensyaratkannya.
            Kondisi sosial sekitar kita, dan kita pun termasuk di dalamnya, sangat kompleks. Ia berubah setiap waktu. Artinya kondisi sosial saat sekarang tidak sama dengan kondisi sosial pada masa yang akan datang. Bahkan kondisi sosial pada masa sekarang di suatu komunitas tertentu, tidak akan sama bentuknya jika dibandingkan dengan kondisi sosial orang tersebut pada waktu yang akan datang. Jangankan melihat kondisi sosial secara global, kondisi satu orang saja akan selalu berubah sejalan dengan perkembangan waktu. Satu orang pada suatu saat di suatu tempat, akan berbeda dengan orang yang sama pada suatu saat di suatu tempat yang lain. Setidaknya berbeda dalam keinginannya, kebutuhannya, atau perasaannya. Orang yang sama akan menjadi atau berperan berbeda jika dihadapkan dengan lingkungan yang berbeda. Ketika kita menghadap calon mertua, tentu berbeda dengan, misalnya menghadap atasan kita, dsb.
            Perubahan-perubahan yang terjadi tidak hanya di tingkat sosial dan kelompok sosial masyarakat yang lebih luas, bahkan di tingkat perorangan pun sebenarnya sudah cukup kompleks. Dulu benci, sekarang rindu. Benci dan rindu datang silih berganti, bahkan terkadang secara bersamaan.
            Itu semua hanya untuk menunjukkan bahwa kondisi sosial itu sangat kompleks. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya juga sangat kompleks, dimamis, dan perubahannya relatif sangat sulit untuk diprediksi. Ilmuwan seunggul apapun, misalnya, tidak akan mampu meramalkan secara pasti apa yang akan terjadi pada negara kita sebulan atau setahun kemudian. Contoh lagi, mengapa sebagian anggota masyarakat kita menjadi anarkis? Jawabnya tentu bisa bervariasi.
            Itu hanya sebagian sangat kecil dari peristiwa sosial yang memang merupakan bagian dari pekerjaan ilmuwan untuk menjelaskannya . Banyak peristiwa sosial yang sampai sekarang tidak bisa diramalkan dengan tepat keadaannya.
            Pertanyaannya adalah, mungkinkah para ilmuwan kurang data dalam menyusun ilmunya, atau mungkinkah juga karena peristiwa-peristiwa sosial itu sendiri yang tidak mempunyai kecenderungan arah yang jelas karena tidak tunduk kepada hukum-hukum alam (sunatullah) sehingga tidak bisa diramalkan dengan tepat kejadian-kejadiannya. Semuanya menjadi timbunan pertanyaan yang juga menambah kompleksnya pembicaraan mengenai ilmu dan pengetahuan.
            Ilmu adalah pengetahuan yang memiliki persyaratan-persyaratan tertentu. Jadi bukan sekadar penegtahuan belaka.


2. Mengenal realita dan fakta

            Babbie (1989) pernah mengatakan adanya dua realitas di dunia sekitar kita. Yang pertama adalah realitas eksperimensial (experimential reality), dan yang kedua adalah realitas penyetujuan (agreement reality). Yang pertama orang mengetahui realitas sebagai akibat dari pengalaman langsung orang tersebut dengan dunianya, sedangkan yang kedua realitas sebagai akibat dari kabar (informasi) orang lain yang dia terima dan orang lain serta dirinya sendiri pun turut mendukung (setuju atau membenarkan) adanya realitas dimaksud.
            Dunia realitas eksperiensial lebih mudah diyakini kebenarannya, juga segala peristiwa yang melatarbelakangi peristiwa tersebut lebih mudah dilihat melalui indera kita. Namun dunia realitas penyetujuan lebih sulit dibuktikannya. Benarkah telah terjadi kerusuhan yang sangat memprihatinkan di Maluku dan Ambon belakangan ini? Benarkah di sana terjadi perang antara islam dan kristen? Benarkah rakyat Palestina selalu ditekan oleh penguasa Israel? Benarkan Aceh ingin merdeka alias melepaskan diri dari NKRI? Satu lagi, benarkah terjadinya gerhana bulan karena sebagai akibat terhalangnya sinar matahari yang menyorot bulan oleh bumi?. Semua peristiwa tersebut nyata adanya dan benar pula kejadiannya, namun orang tidak bisa langsung mengenalnya (merasakannya) secara inderawi. Kita sepenuhnya percaya (dan membenarkannya) berita-berita tadi melalui orang lain. Namun tuntuk menambah tingkat kepercayaan kita akan peristiwa-peristiwa tersebut, diperlukan logika dan tingkat penalaran tertentu (baca: tinggi) sehingga menjadi paham akan kejadiannya atau kebenaran realitasnya.
            Contoh yang mudah dan bisa dilakukan oleh semua orang adalah, bengkoknya sebatang kayu jika sebagian dimasukkan ke dalam air asal tidak tegak lurus memasukkannya. Benarkah tongkat tadi betul-betul bengkok? Tidak. Bengkok yang terjadi disebabkan oleh adanya perbedaan berat jenis antara udara dan air. Bengkoknya tongkat kayu tadi adalah suatu realitas, suatu kenyataan. Namun apakah faktanya demikian?
            Dari sedikit gambaran dalam mengenal realita seperti itu maka sebenarnyalah bahwa untuk mengetahui segala sesuatu yang terjadi di luar lingkungan kita, diperlukan logika dan tingkat berpikir yang memadai, yang dalam pelaksanaannya diawali dengan cara bertahap dan runtut sesuai dengan tingkat perkembangan intelektual. Di sanalah bedanya antara orang awam dengan ilmuwan. Kalau ilmuwan menganggap atau mengetahui bahwa gerhana matahari terjadi sebagai akibat terhalangnya sinar mata hari yang jatuh ke bumu, terhalang oleh bulan, maka orang awam (antara lain sejumlah anggota masyarakat di suatu desa) menganggapnya bahwa matahari sedang dimakan raksasa, dan oleh karena itu rakyat dianjurkan untuk memukul kentongan supaya bulan segera dimuntahkan kembali. Demikian tingginya tingkat penalaran yang dibutuhkan untuk mengetahui peristiwa yang sebenarnya sehingga tidak semua orang mengetahui fakta yang sebenarnya.
            Di situlah pula ada perbedaan tertentu antara kaum awam dengan ilmuwan dalam mengetahui segala sesuatu yang berada di sekitarnya. Orang awam tidak banyak menggunakan logika berpikir canggih dalam menghadapi segala peristiwa di sekitarnya. Sementara ilmuwan selalu berusaha untuk memahami sedalam-dalamnya peristiwa yang dihadapinya.
            Dalam usaha mencari tahu itu, sebenarnya diperlukan dua bentuk realitas tadi. Ilmuwan menggunakannya sebagai dukungan terhadap usaha pemahaman yang dibutuhkannya, baik melalui pengalaman langsung (empiris) maupun melalui pengalaman tidak langsung yang didukung oleh logika berpikir yang dimilikinya. Di dunia filsafat dikenal dengan sebutan epistemology yang bertindak sebagai ilmu tentang pengetahuan, sedangkan metodology (sebagai bagian dari epistemologi) lebih sebagai the science of finding out (ilmu mencari tahu) (Babbie, 1989).
            Buku ini mencoba membicarakan konsep yang terakhir tersebut (metodology) di atas yang diterapkan dalam lingkungan sosial. Bagaimana seorang ilmuwan, atau setidaknya pemerhati masalah-masalah sosial mencari tahu mengenai peristiwa-peristiwa sosial dan fakta sosial. Dari pengetahuannya mengenai realita dan fakta sosial itulah, para ilmuwan bisa menjelaskannya secara ilmiah untuk kepentingan kemaslahatan umat manusia.

Fakta sosial
            Sedikit berbeda pengertiannya antara realitas sosial dan fakta sosial. Kalau realitas adalah objek atau gejala atau kenyataan yang terpersepsikan oleh indera, maka fakta adalah kenyataan itu sendiri yang tidak ditentukan oleh persepsi manusia. Tongkat kayu yang secara realitas adalah bengkok jika dimasukkan ke dalam air dengan mengambil sudut tertentu, maka faktanya tidaklah demikian. Tongkat tadi tetap lurus, tidak bengkok seperti tampak oleh mata kita. Tampak bengkok karena dipengaruhi oleh perbedaan berat jenis antara air dan udara di atas permukaan air, serta dipengaruhi juga oleh keterbatasan indera kita.
            Dalam dunia sosial dikenal dengan realitas sosial dan fakta sosial. Keduanya mempunyai makna yang pada dasarnya sama, yaitu sama-sama berupa kenyataan yang sebenarnya. Hanya yang terakhir ini sudah didukung oleh pengamatan tertentu, sudah teruji atau terbukti nyata adanya. Dengan kata lain, fakta lebih menunjukkan kepada sesuatu yang sudah diamati, kata Babbie (1989:55). Sementara realitas belum seperti itu.
            Fakta sering dikaitkan dengan istilah dalil atau hukum, yang merupakan suatu generalisasi menyeluruh tentang sekelompok fakta. Sedangkan teori merupakan penjelasan tentang seperangkat fakta dan dalil secara sistematik. Fakta juga sering dikaitkan dengan pengertian paradigma yang lebih berarti sebagai suatu skema atau model mendasar yang mengorganisasikan pandangan kita tentang suatu objek, peristiwa, atau tentang unsur-unsur tadi.
            Dalam ilmu, pencarian kebenarannya diusahakan sampai kepada terujinya atau terbuktinya realitas sosial menjadi fakta sosial. Jadi tidak cukup hanya dengan anggapan sekenanya.
            Adanya kecenderungan para ibu di kota-kota di jaman sekarang enggan untuk menyusui anak-anaknya dengan air susunya sendiri (ASI) dan lebih senang menggantikannya dengan susu sapi, adalah suatu realitas sosial. Adanya perilaku nanarkis sekelompok anggota masyarakat terhadap pihak-pihak tertentu di kalangan mereka sendiri, juga merupakan realitas sosial. Satu lagi contoh, banyaknya peristiwa main hakim sendiri (menurut penulis lebih tepat disebut main hakim bersama-sama) di kalangan masyarakat kita dewasa ini, adalah juga sebagai realitas sosial. Semua itu menunjukkan realitas sosial. Faktanya tidak selamanya sama dengan yang tampak di permukaan. Untuk melihat faktanya yang sebenarnya, bisa dilakukan melalui pengamatan yang saksama dan teliti. Melalui studi dengan menggunakan metode tertentu yang tepat, nantinya bisa diketahui fakta yang sebenarnya, apakah memang demikian kejadiannya, atau hanya sekadar fenomena sosial yang sedang muncul ke permukaan.
            Pengamatan yang saksama juga bisa mengungkapkan secara komprehensif realitas-realitas sosial menjadi fakta sosial.
            Kata buku, juga media massa, bulan terdiri atas sebongkah batu besar. Tidak ada tumbuh-tumbuhan dan air seperti layaknya di bumi. Ukuran gravitasinya pun hanya sekitar seperenam gravitasi bumi, sehingga jika seseorang mampu meloncat setinggi satu meter di bumi, maka orang tersebut akan mampu meloncat setinggi enam meter di bulan. Itu juga sebuah contoh realitas yang tidak mungkin bisa diamati secara langsung oleh semua ilmuwan. Namun toh orang percaya bahwa faktanya memang seperti itu, sebab percayanya ilmuwan menggunakan tingkat logika yang relatif tinggi, tidak sekadar percaya karena taklid atau percaya tetapi tidak mengetahui alasan kepercayaannya itu.

3. Pengetahuan dan penemuan manusia
            Pengetahuan sering merupakan dasar dari penemuan manusia. Pengetahuan adalah sesuatu yang sudah disimpan dalam struktur kognisi manusia. Pengetahuan berkaitan langsung dengan pengalaman, baik yang langsung seperti halnya pengetahuan atas experiential reality ataupun pengalaman yang tidak langsung seperti halnya pengetahuan atas agreement reality. Kedua realitas tersebut merupakan subjek sekaligus objek pengetahuan manusia. Dikatakan demikian, sebab hanya manusia yang mempunyai pengetahuan (ilmiah), dan tentu saja pengetahuan adalah milik manusia.
            Pengetahuan dan pengalaman dengan demikian merupakan dua unsur yang sangat erat kaitannya, meskipun tidak selamanya berhubungan secara kausal. Pengalaman selalu melahirkan atau memunculkan pengetahuan, namun pengetahuan tidak hanya dilahirkan oleh pengalaman. Contohnya, ilmu terlahir oleh adanya pengalaman empiris manusia (ilmuwan), namun tidak setiap pengalaman manusia melahirkan ilmu. Pengalaman petani dalam menggarap sawahnya berasal dari pengalamannya selama bertahun-tahun dan turun temurun, namun pengalaman menggarap sawah para petani tidak selalu menghasilkan pengetahuan yang disebut ilmu, sebab pengertian ilmu memiliki persyaratan tertentu.
            Setidaknya suatu pengalaman bisa menghasilkan suatu penemuan tertentu yang berkaitan dengan bentuk pengalaman dimaksud. Pengalaman yang dirancang secara khusus dengan tujuan untuk mencari sesuatu yang ditargetkan, biasanya memang akan menghasilkan sesuatu tersebut. Seorang ilmuwan dengan pengalamannya yang khusus sanggup menghasilkan berbagai formula yang kemudian diwujudkan dalam bentuk karya nyata. Dengan pengalamannya juga seorang arsitek sanggup menemukan dan menciptakan sebuah rancangan bangunan yang indah dan menakjubkan. Dan, dengan pengalaman yang kami miliki selama ini maka tersusunlah sebuah buku yang sedang Anda baca ini.
            Semua karya memang sebagian besar hasil dari olahan pengalaman manusia. Tanpa pengalaman, orang tidak akan tahu banyak tentang apa yang akan dikerjakannya. Bukankah lapangan pekerjaan yang ditawarkan oleh perusahaan-perusahaan kepada masyarakat dewasa ini umumnya bagi mereka yang sudah berpengalaman?. Dengan harapan mereka yang sudah berpengalaman di bidangnya lebih mampu menjalankan pekerjaannya secara mandiri, dan bahkan sanggup mengembangkannya berdasarkan pengalamannya itu. Maka wajar saja jika para pengusaha lebih cenderung memilih calon pegawainya dari pelamar yang sudah memiliki pengalaman kerja di bidangnya.
            Dengan melihat konteks seperti itu, maka antara pengalaman dan pengetahuan, dalam hal-hal tertentu mempunyai makna yang sama. Hanya saja untuk pengetahuan sifatnya lebih luas karena tidak terbatas oleh pengalaman indera saja.
            Penemuan memang tidak hanya dilahirkan oleh pengalaman saja, namun justru sering juga lahir dari pengetahuan, sungguhpun penemuannya hanya bersifat teoretik belaka. Seorang penulis buku tentang cara beternak itik terkadang belum pernah mengalami sendiri bagaimana suka dukanya beternak itik. Dia bisa saja menyusunnya hanya berdasarkan hasil membaca buku dan sumber bacaan lainnya yang ada kaitannya dengan peternakan itik, ditambah dengan keterangan lain berupa wawancara dengan para peternak itik yang berhasil, misalnya. Jika buku tersebut ternyata termasuk laku di pasaran dan mendapatkan sambuta yang baik di masyarakat, maka dimungkinkan pengarangnya bisa disebut sebagai ahli dalam peternakan ituk, sebab dialah yang pertama kali dianggap menemukan metode beternak ituk yang baik. Padahal jika pengarang buku tadi disuruh melakukannya sendiri, belum tentu berhasil.
            Hal menemukan dengan tidak melalui pengalaman langsung seperti itu bisa dilakukan oleh para ilmuwan, termasuk ilmuwan sosial, yang subjek dan sekaligus objeknya sangat gampang berubah. Saat ini kita sedang berkomunikasi. Kami mengemukakan ide dan Anda menangkap ide dan mempersepsi ide yang kami sampaikan/maksudkan, dan Anda pun bebas menerima atau menolak ide-ide kami. Karena demikian bebasnya dan besarnya tingkat kebebasan berkomunikasi di antara kita, maka hasilnya pun tidak jelas sampai dengan tingkat sini. Kemampuan Anda dalam menangkap dan mempersepsi ide-ide kami, jauh melampaui batas-batas apa yang kami maksudkan. Artinya transfer informasi dari kami kepada Anda jauh dikembangkan oleh kemampuan Anda dalam mentransfer informasi dan berpikir kognitif, sehingga dengan demikian, maknanya pun menjadi berkembang. Hanya saja tingkat perkembangannya tidak sama untuk setiap orang. Nah, dari ketidaksamaan arah perkembangan persepsi kognitif itulah yang akan menghasilkan beragam perbedaan persepsi yang perkembangannya semakin kompleks. Kalau sudah demikian maka akan sulit sekali diramalkan hasil akhirnya dari suatu proses sosial komunikasi yang terjadi. Atau dengan kata lain, sepenggal proses sosial dan komunikasi di antara kita saja sulit diramalkan hasil akhirnya. Apalagi jika ruang lingkupnya diperluas.
Dari sanalah maka penemuan yang bersifat ilmiah dalam ilmu sosial tetap bersifat relatif. Karena relatif, maka tentu ada tingkatannya. Dan tingkatannya itulah yang sulit dikuantifikasikan, atau diukur secara kuantitas. Suatu sapaan yang dilakukan oleh seorang pria kepada seorang wanita, dengan intonasi dan frekuensi yang sama, akan mempunyai makna dan maksud yang berbeda, jika dilakukan pada siang hari, malam hari, atau saat-saat khusus. Misalnya, neng, neng, , neng, ! , jika diucapkan pada pagi dan siang hari di tempat terbuka barangkali hanya dianggap sebagai panggilan biasa, namun jika diucapkan pada malam hari yang sepi, akan lain maknanya.
            Itu hanya beberapa penggal contoh yang bisa saja dianggap sebagai suatu realitas penyetujuan (agreement reality), yang bisa saja terjadi pada konteks realitas eksperiensial (experiential reality), yang jika disusun dngan menggunakan metode yang tetap dan sistematika yang benar, akan menghasilkan suatu penemuan tertentu.

4. Konsep ilmu dan pengetahuan
            Pengetahuan, ilmu, dan ilmu pengetahuan, merupakan istilah dan konsep yang sering dipertukarkan/membingungkan, namun jika ditilik lebih jauh, ketiganya sebenarnya memiliki makna yang berbeda.
            Knowledge (pengetahuan), sains (science) atau ilmu, terkadang sering dipersamakan dengan ilmu pengetahuan. Terkadang orang menyebut ilmu pengetahuan untuk konsep ilmu padahal cukup ilmu saja tanpa ditambah kata pengetahuan.
            Ilmu itu sudah pasti bagian dari pengetahuan. Jadi ilmu itu sudah pasti pengetahuan, namun tidak sebaliknya. Anggapan umum juga merupakan salah satu bentuk pengetahuan, tapi bukan ilmu. Mengapa? Sebab dalam ilmu ada penjelasan, terorganisasikan, teratur, sistematis, dapat diuji kebenarannya, dan dalam pencariannya bisa dilakukan oleh orang lain dengan hasil yang relatif sama, bersifat empiris, tidak metafisis atau yang mendekati paranormal, bohong, tidak masuk akal sebagian besar orang.
            Seperti di muka sudah disinggung, orang percaya kepada adanya kemampuan manusia yang enam kali lebih tinggi dalam meloncat di bulan jika dibandingkan dengan di bumi, karena hal ini setidaknya masuk akal karena ukuran dan perbandingan gravitasi bumi dan bulan yang berbading seperenam. Orang pun percaya bahwa telah terjadi peristiwa kerusuhan bernuansa SARA di Maluku dan Ambon. Juga orang masih percaya adanya gerakan sebagian orang Aceh yang menginginkan memisahkan diri dari NKRI. Semua peristiwa tersebut bisa diterima secara akal sehat, juga diperkuat melalui bantuan teknologi komunikasi modern seperti telepon, televisi, surat kabar, dan radio.


BAB II
ANGGAPAN UMUM DAN CARA ORANG MEMAHAMI
GEJALA-GEJALA ALAM DAN SOSIAL


1. Bermacam cara orang dalam memahami gejala-gejala alam dan sosial
Kita sering mendengar dan melihat prilaku debat kusir atau bersitegang urat leher di kalangan orang kebanyakan ketika mereka akan memutuskan sesuatu yang dianggapnya penting. Misalnya ketika salah seorang dari mereka bermusyawarah untuk menentukan hari baik untuk menetapkan waktu perkawinan putrinya. Seorang di antara mereka mengusulkan agar waktu perkawinannya ditetapkan pada bulan besar (zulhijjah) dengan alasan bahwa bulan tersebut termasuk ke dalam bulan agung islam. Seorang lain mengusulkan yang penting bukan bulan sapar (syafar) karena dipercaya akan panas akibatnya bagi sang pengantin dalam membina rumah tangganya.
Karena terlalu banyak usul dan pendapat dari orang-orang mengenai waktu dan hari baik tadi, akhirnya orang tua si anak memutuskan untuk bertanya kepada seorang kyai (orang yang dianggap mumpuni). Akhirnya semua perbedaan tersebut bisa diatasi setelah sang kiyai menetapkan bulan dan hari perkawinan putri tadi.
Kita ambil gambaran satu lagi. Seorang pemuda tertangkap basah sedang mencuri ayam di rumah tetangganya. Ia pun kemudian babak belur digebuki massa. Seseorang tua bertanya kepada orang-orang yang berkerumun turut menghakimi pemuda tadi, siapa dia, dan anak siapa? . Orang-orang yang ditanya pun menjawab singkat, si A anak si B . Lantas orang tua yang bertanya pun berkomentar singkat, pantas, bapaknya maling, anaknya pun maling .
Dalam mencermati kedua kasus di atas, yakni hari baik dan kasus maling , orang bisa berbeda pendapat atau jawaban jika ditanya komentar dan alasannya. Kemungkinan jawaban pertama terhadap kasus maling adalah melalui metode keteguhan. Dari hasil pengamatan dan kebiasaan yang tidak perlu diragukan lagi, bahwa orang tua yang baik akan melahirkan anak yang baik. Juga sebaliknya. Orang tua yang bejat akhlaknya akan menurunkan anak-anak yang tidak sehat pula dalam pengertian sosial.
Kita juga melihat dan sedikit mengamati berbagai perilaku dan komentar para ahli dan elit politik di berbagai media massa. Tokoh yang satu seolah menganggap lebih benar pendapatnya dari pendapat tokoh lainnya. Mereka saling mengkritik. Tidak ada kekompakan di antara mereka. Dan rakyat pun dibuat lebih bingung lagi.
Argumentasi tokoh-tokoh politik dan para pengamat yang tampil di media massa, jika diamati lebih jauh, mereka juga sedang mempertahankan kebenarannya. Tentu saja kebenaran yang mereka anggap paling dapat dipercaya, yakni kebenaran yang paling benar menurut anggapan mereka. Lantas, kebenaran yang mana yang menurut kita paling benar dan kita gunakan sebagai dasar pengembangan ilmu?
Itulah yang di dunia ilmiah dikenal dengan sebutan kebenaran relatif, kebenaran yang relasional, kebenaran yang selalu dikaitkan dengan konteks tertentu. Kebenaran menurut siapa, kebenaran untuk konteks yang mana, dan kebenaran di mana. Benar menurut kita (di Indonesia) tidak selalu benar di tempat lain (di Israel), misalnya.

·                metode keteguhan
            Orang berpegang teguh pada pendapatnya karena pendapat itu sudah diyakini (benar) sejak lama. Mengubah pola keyakinan sebagian besar orang desa tertentu tentang penentuan hari baik untuk perkawinan, untuk sepitan, untuk pindah rumah, untuk membangun rumah, dan untuk hal-hal yang dianggap penting dalam hidupnya, lebih sulit dibandingkan dengan, misalnya, memilih warna baju atau cat rumahnya. Sebab masalah penentuan hari baik tadi sudah menjadi keyakinan yang mentradisi.
            Dua orang calon besan bisa gagal mengawinkan anak mereka gara-gara perbedaan dalam menentukan hari perkawinan anak-anaknya. Itu contohnya. Orang juga sangat sulit untuk berganti agama yang selama ini dianutnya. Itu contohnya lagi.
            Orang bisa kehilangan kebijaksanaannya, kesantunannya, atau bahkan etikanya jika sudah terlibat dalam mempertahankan kebanaran yang didasarkan atas model peneguhan ini.

·                metode otoritas
            Biasanya orang yang dianggap ahli (mumpuni) lebih dipercaya pendapat-pendapatnya dibandingkan dengan yang lainnya. Kita lebih percaya kepada seorang kiyai untuk bicara mengenai masalah hukum-hukum agama dibandingkan dengan seorang profesor bidang ilmu hukum positif, misalnya. Kita juga lebih percaya kepada dokter ahli penyakit dalam untuk memeriksa kesehatan kita secara lebih teliti dibandingkan dengan dokter umum, misalnya, meskipun yang terakhir ini pun sebenarnya masih bisa.
            Metode otoritas dalam konteks ini adalah kebiasaan sebagian orang (termasuk kita di jaman sekarang) yang menganggap bahwa mereka yang memiliki otoritas di bidangnya sering dimintai pendapat-pendapatnya atau pandangan-pandangannya tentang suatu hal. Seorang insinyur teknik mesin akan lebih pas jika menjelaskan masalah permesinan. Jelasnya, orang lebih percaya kepada mereka yang memiliki keahlian tertentu.
            Otoritas di sini tidak selalu dalam bentuk keahlian, namun bisa jadi otoritas dalam berbagai hal, misalnya untuk masalah pemerintahan, maka yang dianggap memiliki otoritas adalah ketua RT untuk otoritas tingkat RT, juga ketua RW untuk otoritas setingkat wilayahnya, dst.

·                metode intuisi
            Keyakinan para petani sudah jelas tentang kapan akan memulai menebar benih padinya, kapan akan memulai membangun rumahnya, kapan meletakkan batu pertamanya, dan kapan akan menikahkan anak-anaknya. Mereka tidak sembarang dalam menetapkan waktu-waktu tersebut. Mereka sudah meyakininya sejak lama,dan oleh karena itu mereka tidak perlu lagi penjelasan-penjelasan yang tidak diperlukannya lagi.
            Dasar dari keyakinan atau pola kebenaran yang dianutnya tersebut didasarkan atas anggapan umum atau pengalaman sehari-hari. Jika hal-hal seperti itu dilanggar, biasanya ada semacam gangguan tertentu pada hasil kerjanya.

·                revelasi
            Menjadi tahu lantaran pengalaman pribadi. Setelah merenung atau bahkan melamunkan sesuatu yang memang sudah lama dipikirkannya, atau mungkin juga secara kebetulan, lalu aha!, ketemu sekarang. Wangsit, kata orang jawa, juga termasuk kategori pengetahuan atau kebenaran yang didasarkan atas revelasi ini.
            Pengalaman pribadi seseorang terkadang demikian unik sehingga sangat berbeda dengan pengalaman-pengalaman pribadi orang lain. Dalam kadar tertentu, jenis pengalaman pribadi ini sering dikaitkan dengan ilham.
            Di kalangan masyarakat jawa tertentu, sering diusahakan dalam mencari sesuatu itu dengan cara menyepi sendiri atau sering juga disebut sebagai tirakatan, tiada lain dalam usahanya untuk mencari ilham atau wangsit.

·                Anggapan umum (common sense)
            Dikatakan juga sebagai pengalaman sehari-hari. Pengalaman pribadi di masa lalu sering dipertimbangkan untuk bahan pengambilan keputusan tahu tadi. Ia mulai berusaha untuk menghubungkan kemungkinan-kemungkinan terbaiknya berdasarkan pertimbangan akal sehatnya.
            Orang juga sering mengumpulkan informasi untuk memahami gejala-gejala alam dan sosial yang dilihatnya, kemudian meyakininya guna mendukung pekerjaannya.

·                metode ilmiah (sains)
            Dalam mencari tahu dengan metode ilmu (sains) berbeda dengan model-model atau metode mencari tahu seperti sudah dikemukakan di atas tadi, karena di sini harus memenuhi kaidah dan aturan-aturan tertentu, yakni ilmiah (Walizer dan Wienir (1978:8-9).
            Fenomena, realita, kenyataan, fakta, data, informasi, anggapan umum, semuanya perlu penjelasan. Di balik fenomena itu apa, di balik realita yang tampak itu apa. Untuk mengetahui apa-apa yang ada di balik itu semuanya, perlu penjelasan, perlu aturan-aturan yang memadai sehingga hasilnya menjadi benar.
            Masalah benar di sini pun masih bisa diperdebatkan lagi. Kebenaran itu apa. Ada kebanaran relatif atau relasional, ada kebenaran praduga, ada kebenaran dogmatis, ada kebenaran semu, ada kebenaran ilmiah, dan ada juga kebenaran mutlak. Di sini yang dibicarakan adalah kebenaran ilmiah. Kebenaran yang didasarkan atas yang lain tadi tidak dbicarakan.
            Kebenaran ilmiah juga bisa dilihat dari dua sisi setidaknya, yakni kebenaran aturan-aturannya dan kebenaran hasilnya. Kalau aturan, metode, dan sistematikanya yang runtut dan memenuhi syarat-syarat tertentu, maka hasilnya dikatakan benar, benar secara ilmu. Pengetahuannya pun menjadi pengetahuan yang benar secara ilmu. Yang jelas, kebenaran ilmiah adalah kebaneran yang memiliki atau mensyaratkan aturan-aturan tertentu. Karena mensyaratkan aturan-aturan tertentu itulah maka hasilnya selalu dikaitkan dengan syarat-syarat tersebut. Itulah yang dikatakan bahwa kebenaran ilmiah bersifat relatif, relasional, atau kebenaran kontekstual.

2. Anggapan umum dan ilmu

            Ilmu sering dikaitkan dengan anggapan umum, padahal ilmu bukanlah anggapan umum. Memang ada sedikit pekerjaan mencari tambahan informasi dalam anggapan umum untuk mendukung keputusan seseorang, namun dasarnya hanya tradisi dan akal sehat saja. Kasus-kasus seperti penentuan hari baik untuk merayakan pesta pernikahan seseorang, untuk sunatan anak-anak, untuk meletakkan batu pertama suatu bangunan, dsb., itu biasanya didasarkan atas anggapan umum.
            Contoh lain misalnya, orang kampung menabuh kentongan di saat ada gerhana bulan dan matahari (jaman dulu di suatu desa) guna mengusir raksasa yang memakan bulan atau matahari supaya segera memuntahkannya kembali. Seorang dukun sering mencari benda-benda antik (langka) untuk perlengkapan mantra-mantranya supaya berhasil. Seorang pengusaha mengandalkan instink bisnisnya dalam memilih lokasi perusahaannya dengan harapan bisa berkembang dengan pesat. Pustakawan mempersiapkan secara lebih intensif segala sesuatunya guna melayani kemungkinan ledakan pengunjung saat-saat menjelang ujian akhir semester di perguruan tinggi. Itu semuanya adalah contoh-contoh yang sering kita ketahui dalam kehidupan sehari-hari.
            Fenomena seperti itu ada. Mereka menanganinya secara berbeda, dan umumnya didasarkan atas anggapan umum, bukan atas dasar ilmu. Di sana tidak ada penjelasan lanjut mengapa hal itu diyakini atau dikerjakan. Ilmu bukanlah anggapan umum, sebab ciri-ciri anggapan umum antara lain sebagai berikut:
  • tidak disertai penjelasan. Kebenaran, pekerjaan, atau keputusan yang diambil tanpa disertai penjelasan bukanlah ilmu.
  • Konsep dan pengertiannya luas dan kabur.
  • Tidak ada pengujian dan pembuktian. Meskipun mungkin benar secara ilmiah, namun karena tidak diuji dan dibuktikan secara ilmiah, anggapan umum bukanlah ilmu.
  • Tidak mempersoalkan kontrol, terutama dalam eksperimen, juga pembanding. Keputusan-keputusannya langsung diambil tanpa adanya pembanding.
  • Sering ada kaitannya dengan penjelasan metafisis, tidak rasional.

3. Kaidah ilmu

Kaidah ilmu ada empat yakni orde, determinisme, parsimoni (sederhana), dan empirisme atau pengalaman.

·                Orde
            Orde adalah aturan atau keteraturan. Alam dan segala isinya baik yang kecil maupun yang besar bersifat teratur. Jika diamati sistem tata surya kita sangat teratur pergerakannya. Benda langit yang satu dan benda langit yang lainnya mempunyai tugas dan fungsinya masing-masing dan saling mendukung. Satu saja benda langit yang besar, seperti matahari misalnya, jika tidak teratur dan konsisten bergerak baik dalam revolusinya maupun dalam evolusinya, tentu akan ambrol dan bertabrakan dengan benda langit yang lainnya. Itu contoh yang besar.
            Dalam sistem tubuh manusia pun ada keteraturan yang jelas. Darah bergerak mengalir dari jantung keluar melalui urat nadi menyebar ke seluruh tubuh dan akhirnya kembali melalui urat balik ke jantung lagi. Demikian juga komponen tubuh lainnya. Mereka mempunyai tugas yang berbeda-beda namun saling mendukung satu sama lain.
            Di dunia sosial, juga ada keteraturan-keteraturan yang relatif jelas, meskipun tidak setegas keteraturan pada dunia atau peristiwa-peristiwa alamiah. Adanya kelompok-kelompok orang dalam berbagai bentuk organisasi, adanya kemiripan kebutuhan sekelompok orang kepada objek yang sama, adanya kepentingan-kepentingan yang sama dari sejumlah orang dalam masyarakat, itu bisa dipandang sebagai suatu yang bisa diteliti.
            Manusia baik secara perorangan maupun secara kelompok memiliki pola kehidupan yang secara relatif teratur. Sistem kehidupan sosial yang ada di dunia ini pada umumnya menuju kepada keteraturan tertentu. Sistem hukum yang dibuat oleh manusia juga merupakan aturan-aturan yang jelas untuk mendukung sistem kehidupan yang teratur tadi dari manusia. Jika tidak ada keteraturan dalam sistem kehidupan manusia, maka peristiwa-peristiwa sosial tidak bisa dijelaskan secara ilmu, sebab arah dan perkembangannya tidak jelas.

·                Determinisme
            Maksudnya adalah ada sebab determinan, atau anteseden (pendahulu) yang bisa diselidiki. Peristiwa yang satu lahir sebagai akibat adanya peristiwa sebelumnya. Dan secara berlanjut, persitiwa yang akan datang pun bisa diramalkan kemungkinan-kemungkinannya karena ia merupakan hasil atau akibat dari peristiwa yang terjadi pada saat sekarang. Jadi hubungan sebab akibat merupakan kaidah dalam ilmu.

·                Parsimoni
            Ilmu lebih menyukai penjelasan-penjelasan sederhana daripada yang kompleks dan rumit. Bahkan peristiwa-peristiwa yang rumit dan kompleks karena sudah melibatkan banyak variabel di dalamnya, dijelaskan dan disederhanakan penjelasannya sehingga lebih mudah dipahami. Bukan sebaliknya, yang sederhana malah dibuat rumit sehingga lebih tampak ilmiah -nya.

·                Empirisme
            Ilmu lebih percaya kepada observasi atau eksperimen. Melaporkan periswiwa-peristiwa yang terjadi di masyarakat setelah melakukan observasi dan pengamatan secara langsung, akan lebih dipercaya dibandingkan jika hanya melaporkannya tanpa disertai observasi. Empirisme ini juga bersifat replikasi. Peristiwa yang sama jika diteliti oleh peneliti lain dengan metode dan teknik yang sama akan menghasilkan kesimpulan yang relatif sama.

4. Tujuan ilmu
            Tujuan ilmu adalah untuk memahami fenomena, baik yang sifatnya alamiah maupun sosial. Proses memahami dimaksud terdiri atas tahap-tahap sebagai berikut:

·                Deskripsi gejala
            Fenomena yang terjadi di sekitar kita diamati secara cermat. Dipertanyakan kemungkinan-kemungkinan lain dari berbagai peristiwa yang ada sangkut-pautnya dengan fenomena tadi. Sebab fenomena yang tampak tidak selamanya sama precis dengan apa yang terjadi sebenarnya.

·                Penjelasan
            Diibaratkan seperti gunung es atau lebih sempitnya adalah bongkahan es batu di dalam air, mengapung (ngambang). Yang tampak adalah yang muncul di permukaan, sementara sebagian besar yang lainnya tetap berada di dalam air, tidak tampak. Yang tidak tampak itulah yang memerlukan penjelasan lebih cermat dan teliti. Penjelasan di sini maksudnya adalah berusaha untuk menguraikan baik secara sistemik integratif maupun secara sepotong-sepotong, sehingga bentuk asli dari gunung es atau bongkahan es batu secara utuh bisa tergambarkan dengan gamblang. Dalam penjelasan ini diperlukan logika yang benar dan sistematis sehingga masuk akal.

·                Prediksi
            Lebih lanjut dari penjelasan tersebut di atas adalah prediksi. Penjelasan-penjelasan atas latar belakang di balik fenomena, atau yang di sini digambarkan pada bentuk bongkahan es yang berada di dalam air, karena tidak tampak, maka penjelasannya bersifat prediktif. Penjelasan yang benar bersifat prediktif. Dan lagi, prediksi di sini maksudnya adalah menjelaskan peristiwa atau segala sesuatu yang belum terjadi, atau setidaknya tidak tampak saat sekarang.

·                Mengorganisasikan semua bukti empiris
            Semua atau setidaknya sebanyak-banyaknya bukti empiris diorganisasikan secara sistematis. Segala data, keterangan, atau fakta yang dikumpulkan melalui pengalaman langsung di lapangan, dikumpulkan, kemudian diorganisasikan, diolah, dan akhirnya diuji dan diinterpretasikan.

·                Penjelasan yang benar dan cermat akan menghasilkan fakta ilmiah
            Bila semua penjelasan dimaksud di atas dilakukan secara benar dan cermat, yakni penjelasan yang dilakukan secara sistematis, menggunakan logika berpikir yang sehat dan memadai, didukung oleh data atau keterangan yang benar dan cukup, maka penjelasan ini akan menghasilkan fakta ilmiah. Dengan demikian maka yang dimaksudkan dengan fakta ilmiah adalah suatu bukti atau kebenaran yang dihasilkan oleh penjelasan secara sistematis dan ilmiah.

·                Fakta-fakta ilmiah yang diorganisasikan secara sistematis dan tepat disebut pengetahuan ilmiah
            Bila fakta-fakta ilmiah dimaksud diorganisasikan secara sistematis, dan metode yang digunakannya juga tepat guna mencapai fakta-fakta tersebut, dinamakan pengetahuan ilmiah. Jadi pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang memiliki persyaratan-persyaratan tertentu, yakni antara lain sistematis, terorganisasikan, menggunakan metode penjelasan yang benar.

·                Teori ilmiah, sama dengan, penjelasan yang benar.
            Bila penjelasan yang dimaksud di atas dilakukan secara berulang-ulang dan terbukti benar hasilnya, maka penjelasan ini disebut teori. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa tujuan ilmu adalah teori, teori ilmiah tentu saja. Dengan kata lain maka teori ilmiah pada hakekatnya adalah juga penjelasan yang benar.

5. Ciri-ciri teori ilmiah

            Teori ilmiah mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

·                Terdiri atas proposisi-proposisi. Proposisi adalah pernyataan tentang adanya hubungan yang terbukti di antara berbagai variabel. Bentuk proposisi adalah hipotesis. Contohnya antara lain adalah: jika A maka B; jika B maka C, dsb.

·                Konsep-konsep dalam proposisi dibatasi secara tegas. Konsep-konsep dalam proposisi dibatsi secara tegas dan jelas, tidak kabur. Contohnya, jika seseorang sedang melamun, maka ia sedang menginginkan sesuatu. Itu kabur, karena tidak jelas apa yang diinginkannya. Sedangkan contoh proposisi yang tidak kabur adalah, jika penjajaran koleksi di perpustakaan dilakukan secara benar dan konsisten sesuai dengan aturan standar katalogisasi, maka kegiatan penelusuran informasi tidak banyak menemui kesulitan.

·                Teori harus bisa diuji. Teori bersifat kontekstual, relasional, dan dipengaruhi oleh variabel ruang dan waktu. Teori yang satu jika diuji oleh orang lain pada tempat dan waktu yang berbeda, akan menghasilkan ditolak atau diterima. Teori yang diterima seterusnya berkembang menjadi teori-teori lain yang semakin menajam. Sedangkan teori yang ditolak biasanya berhenti sampai di situ, karena perkembangannya dilanjutkan oleh teori yang lain.

·                Teori harus melahirkan proposisi-proposisi tambahan yang sering tak terduga. Maksudnya adalah bahwa teori sering melahirkan proposisi-proposisi lain yang muncul. Melalui pertanyaan-pertanyaan yang dimunculkan atas teori yang satu, akan melahirkan proses pengujian dan penelitian lanjutan. Dalam proses tersebut sering muncul hipotesis dan atau proposisi-proposisi tambahan yang diperlukan. Dari proposisi-proposisi tambahan inilah nantinya akan lahir teori-teori baru.

6. Proses ilmu

·                Awal adalah akhir, dan akhir adalah awal dari suatu proses ilmiah. Proses ilmu tidak pernah berakhir dengan jelas. Selalu berawal dari suatu titik dan berakhir pada titik yang lain. Dan titik yang lain itu pun berfungsi sebagai titik awal dari proses ilmu selanjutnya. Jadi awal adalah akhir, dan akhir juga adalah awal dari suatu ilmu (proses ilmu).

·                Gambar diagram proses ilmu (teori). Secara skematis, proses ilmu atau teori bisa digambarkan sebagai berikut (Jalaluddin Rakhmat, 1996):


Observasi 1 Observasi 2 Observasi 3


                                    Gambar: Teori (proses ilmu)

            Gambar tersebut bisa diperbandingkan dengan gambar proses penemuan yang pada akhirnya menghasilkan teori, seperti berikut:
Pertanyaan-pertanyaan








Teori Observasi
 Gambar: Langkah-langkah penemuan

            Setidaknya ada tiga tahap dalam proses penemuan ilmiah (teori ilmiah), termasuk di dunia sosial dan perpustakaan.
  • Adanya pengajuan pertanyaan-pertanyaan. Ada pertanyaan tentang definisi, pertanyaan mengenai fakta, dan pertanyaan mengenai adanya hubungan. Kata-kata tanya seperti, apa, apakah, bagaimana, untuk apa, dsb. Pertanyaan-pertanyaan tersebut memerlukan jawaban. Secara ilmiah, untuk mencari jawaban dimaksud, langkahnya biasanya melalui observasi (lihat gambar).
  • Adanya kegiatan observasi. Pengamatan langsung ke lapangan atau bisa juga dengan cara eksperimen diperlukan dan bahkan lebih dipercaya. Kegiatan tersebut dimaksudkan guna mencari data, mengumpulkannya, mengolahnya, dan kemudian menganalisis dan menginterpretasikannya guna menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi.
  • Merumuskan jawaban-jawaban. Dari data dan keterangan yang terkumpul melalui observasi tadi (bisa juga melalui eksperimen), ilmuwan mencoba merumuskan jawaban-jawabannya. Rumusan jawaban dimaksud itulah yang disebut teori.

7. Observasi.
            Topologi metode penelitian dimulai dari observasi, baik langsung atupun tidak langsung. Bandingkan dengan dua konsep realitas, yakni realitas langsung dan realitas penyetujuan, seperti di muka telah dibahas.
            Berikut adalah diagram observasi dimaksud:

8. Ilmu sosial sebagai sains
            Mengapa peristiwa-peristiwa sosial perlu dipelajari? Jawabnya tentu saja bisa beragam. Namun yang jelas bahwa peristiwa-peristiwa sosial semakin kompleks dan bervariasi. Peristiwa yang satu saja sering melibatkan banyak variabel, apalagi jika dikaitkan dengan peristiwa yang lain, yang juga sering ada kaitannya dengan peristiwa sebelumnya.
            Sebuah contoh peristiwa sosial dan kemanusiaam yang spektakuler adalah ketika dua menara kembar (WTC world trade center) di jantung kota New York Amerika Serikat yang runtuh dihantam pesawat penumpang bajakan pada tanggal 11 September 2001, dan gedung Pentagon (pusat pertahanan dan keamanan Amerika Serikat) dibom, juga pada hari dan tanggal yang sama. Siapapun, atau ilmuwan manapun tidak ada yang bisa mengira bahwa peristiwa tersebut bisa terjadi.
            Kita terlalu percaya selama ini kepada kecanggihan sistem keamanan Amerika dengan bantuan keunggulan teknologinya, namun toh kecolongan juga. Peristiwa itu sudah terjadi. Sekarang pihak keamanan dan para sekutu Amerika sedang mencari dalang dibalik semua peristiwa tersebut.
            Ketika krisis ekonomi melanda Indonesia yang diawali dengan lengsernya Soeharto dari kedudukannya sebagai presiden, maka berturut-turut krisis berlanjut menjadi krisis-krisis yang lain, seperti krisis kepercayaan, krisis kepemimpinan, krisis moral, dsb. Bahkan, krisis ini juga mempunyai dampak luas yang lain, seperti misalnya konflik-konflik horizontal yang berbau SARA (Suku Agama Ras dan Antar golongan). Peristiwa-peristiwa yang kemnudian muncul ke permukaan sebagai fenomena sosial masa itu (sampai saat ini juga masih tampak ada) sudah semakin bersifat kompleks dan multidimensional. Hampir di semua segi kehidupan sosial mengalami krisis, setidaknya mengalami perubahan yang signifikan.
            Gelombang anarkis muncul di mana-mana. Kelompok yang satu berdemonstrasi memaksakan kehendak, sementara kelompok yang lain juga melakukan demonstrasi tandingan. Para pencuri ayam di kampung ditangkap rame-rame, dihajar, kemudian dibakar hidup-hidup. Demikian juga pencopet, pemalak, atau bahkan hanya karena fitnah, orang baik-baik juga bisa dibantai karena dituduh dukun santet.
            Pertanyaannya adalah, mengapa terjadi peristiwa-peristiwa seperti tadi? Apakah hukum dan keteraturan sosial sudah tidak berfungsi? Atau mungkin juga karena moral masyarakat sebagai manusia sudah kehilangan identitasnya sebagai manusia, dan yang ada tinggal sifat-sifat hewaniahnya? Semua pertanyaan tersebut bisa dicari jawabannya dengan banyak cara, namun yang lebih dipercaya adalah jawaban yang menggunakan ilmu atau sains.
            Tambahan lagi, ketika pesawat ruang angkasan meledak beberapa tahun yang lalu, ketika kereta api bertabrakan dan mengakibatkan tewasnya puluhan penumpangnya, dan ketika kapal tampomas 2 tenggelam di laut bagian timur Indonesia beberapa tahun yang lalu, itu bukan saja menunjukkan berbagai kelemahan faktor manusia pengelolanya, juga sekaligus sebagai satu tanda kelemahan teknologis, elektrik, dan fungsi-fungsi engineering. Dampak dari peristiwa seperti itu, meskipun pada awalnya hanyalah menunjukkan kesalahan teknis engineering, namun akibatnya merambah ke masalah-masalah sosial, seperti masalah ekonomi, politik, hukum, dan juga asuransi. Jadi banyak aspek turut terlibat di sini, baik yang sifatnya asli fisik alamiah maupun yang sosial kemasyarakatan.
            Jadi peristiwa-peristiwa baik yang sifatnya alamiah maupun yang sosial kemasyarakatan, tidak selamanya berdiri terpisah, akan tetapi sering saling berkait satu dengan yang lainnya. Bedanya mungkin ada, namun tetap sering saling berkaitan satu sama lainnya.
            Kalau peristiwa-peristiwa alamiah memiliki sifat-sifat yang relatif konstan hukum-hukumnya, seperti misalnya air jika dipanaskan akan menguap, es dipanaskan akan mencair, dsb., maka pada peristiwa sosial, hukum-hukumnya tidak setegas peristiwa alamiah. Namun demikian, peristiwa sosial pun dalam kadar tertentu bisa diramalkan perubahan-perubahannya. Misalnya angka kematian bayi yang bisa ditekan dengan upaya peningkatan kesehatan ibu dan keluarga. Emile Durkheim (dalam Bailey, 1987:6-10) menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa sosial itu mempunyai aturan-aturan tertentu meskipun tidak setajam aturan-aturan alamiah, misalnya angka kamatian bayi yang bisa diamati dan kemudian bisa diramalkan kemungkinan-kemungkinannya di masa yang akan datang. Dengan demikian maka hal tersebut menjadi salah satu syarat menjadi ilmu.
            Memang sedikit berbeda dengan ilmu alamiah yang lebih pasti prediksinya, karena aturan-aturan alamiah relatif lebih pasti dan konstan. Meskipun tidak semuanya dan selamanya. Kapan gunung meletus dan kapan akan terjadi gempa bumi tektonik di suatu tempat juga sangat sulit untuk diduga. Sementara itu, yang namanya manusia, sangat banyak variabel yang melingkupinya. Orang yang sama jika sudah bergeser tempat dan waktu pada hakekatnya juga sudah berbeda, karena setidaknya dia suhan berbeda dalam kebutuhannya, keinginannya, dan juga perasaannya. Satu orang saja sudah cukup kompleks, apalagi jika sudah dua orang, tiga orang, dan banyak orang dalam suatu komunitas tertentu.
            Meskipun demikian, karena sifat manusia yang seperti itulah maka, jika sekelompok orang dihadapkan kepada objek yang sama, sering terbagi ke dalam beberapa kelompok kepentingan yang relatif sama. Kita amati saja, mengapa ada kelompok peminat koran Kompas, atau PR, atau Republika, atau koran tertentu lainnya saja. Itu menunjukkan bahwa kelompok-kelompok kepentingan di masyarakat itu memang ada, dan itu bagian dari masalah yang perlu dipelajari.

9. Informasi dan Perpustakaan sebagai ilmu sosial
            Kalau perpustakaan didudukkan sebagai ilmu, maka ia bukan lagi dipandang sebagai tempat atau ruangan, sebagai kumpulan koleksi , sebagai unit kerja , atau sebagai barang ujud lainnya. Perpustakaan bisa dilihat sebagai suatu proses yang melibatkan banyak unsur di dalamnya. Di dalam perpustakaan ada orang, ada benda yang dikelola, dan ada aturan-aturan tertentu dalam pengelolaannya, dsb.
            Di kalangan masyarakat awam, perpustakaan hanya dianggap sebagai kumpulan buku di suatu tempat, yang di dalamnya ada yang mengurus, serta ada yang meminjam buku untuk jangka waktu tertentu lamanya.
            Teruskan lain kali saja


BAB III
PENELITIAN BERDASARKAN TUJUAN, HASIL, DAN TEMPAT


1. Berdasarkan tujuan

·                Penelitian deskriptif
            Dalam studi ini, peneliti sering tidak mempunyai hipotesis formal. Peneliti hanya berusaha menjelaskan apa yang sedang terjadi di lapangan. Untuk itu ia mulai mengumpulkan data untuk mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang terjadi tadi. Peneliti belum berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan bagaimana dan mengapa suatu peristiwa terjadi.
            Penelitian deskriptif tidak bermaksud untuk mencari dan menjelaskan hubungan, juga tidak menguji hipotesis, tidak membuat predisksi. Penelitian deskriptif juga sering dianggap sebagai penelitian survey atau penelitian observasional (Lihat Rakhmat, 1997).
            Penelitian deskriptif juga sering diartikan sebagai pelukisan variabel demi variabel, satu demi satu, mirip dengan analisis deskriptif dalam statistik deskriptif, bukan statistik inferensial. Di sini data dikumpulkan secara univariat, kemudian diukur dengan pola kecenderungan pusat serta ukuran sebarannya.
            Lebih jauh dengan studi deskriptif adalah adanya sifat yang berbeda dengan penelitian-penelitian lainnya. Metode deskriptif sering bertindak sebagai mencari teori, bukan menguji teori , menghasilkan hipotesis, bukan menguji hipotesis, bersifat heuristic dan bukan verifikatif. Selain itu, penelitian deskriptif titik beratnya pada tindakan observasi dalam suasana alamiah, apa adanya, dan peneliti bertindak sebagai pengamat.

·                Penelitian eksplanatori
            Ada dua hal dalam studi ini, yakni adanya unsur eksplanasi, dan kedua adanya prediksi. Banyak studi yang tidak hanya menjelaskan fenomena seperti halnya pada studi deskriptif, namun sudah berusaha untuk menjelaskan lebih jauh tentang latar belakang fenomena tersebut. Pertanyaan mengapa dan bagaimana suatu fenomena terjadi. Jadi sifatnya lebih mendalam dari studi deskriptif.
            Selain itu, penelitian eksplanatori ini mempunyai tujuan yang lebih jauh lagi, yakni prediksi. Prediksi dan eksplanasi pada hakekatnya mempunyai makna yang sama, meskipun dalam konteks yang sedikit berbeda karena perbedaan sudut pandang, kecuali dalam hal bahwa prediksi biasanya mendahului suatu peristiwa, sedangkan eksplanasi biasnya terjadi setelah suatu peristiwa berlangsung. Contoh, kita tidak akan bisa mengendalikan iklim atau cuaca, namun kemampuan kita dalam mengendalikan suatu kerusuhan sosial, banyak bergantung kepada kemampuan kita dalam mengendalikan kerumunan orang.


2. Berdasarkan kegunaan/hasil

·                Penelitian dasar
            Adalah penelitian yang dilakukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pada umumnya. Hasil dari penelitian dasar ini biasanya berupa formula keilmuan atau temuan-temuan baru dalam bidang ilmu.

·                Penelitian terapan
            Adalah penelitian yang dilakukan untuk kepentingan kehidupan umat manusia sehari-hari. Hasil dari penelitian ini bisa dilihgat ujudnya, misalnya alat untuk menetaskan telur atau mesin tetas telur, alat pengawet makanan, dll.

·                Penelitian dasar dan terapan
            Penelitian yang dilakukan untuk kepentingan keduanya tadi, yakni untuk pengembangan ilmu sekaligus untuk kemanfaatan kehidupan manusia sehari-hari.

3. Berdasarkan tempat

·                Penelitian laboratorium
            Laboratorium adalah tempat yang dirancang secara khusus untuk dilakukannya pekerjaan-pekerjaan ilmiah, seperti menguji hipotesis dalam penelitian-penelitian eksperimen, menguji kemungkinan-kemungkinan adanya faktor lain yang muncul, dll. Semua kegiatan di laboratorium umumnya bertujuan untuk pengembangan ilmu.
            Laboratorium dalam ilmu-ilmu dasar dan eksakta umumnya lebih banyak dilakukan di laboratorium. Sedangkan untuk ilmu-ilmu sosial, laboratoriumnya lebih banyak untuk melakukan penerapan ilmu setelah melakukan uji perbandingannya di lapangan sosial yang sebenarnya.

·                Penelitian lapangan
            Penelitian yang dilakukan secara langsung di lapangan-lapangan sosial, misalnya langsung bergabung dengan kondisi dan situasi masyarakat di pedesaan, masyarakat pegunungan, masyarakat yang masih terbelakang, dsb.

·                Penelitian kepustakaan
            Penelitian yang didasarkan atas pengumpulan datanya dari informasi kepustakaan, seperti buku, majalah ilmiah atau jurnal, hasil penelitian terdahulu, dan sumber-sumber sekunder lainnya.





4. Penelitian kualitatif dan penelitian kuantitatif
Berikut adalah tabel yang memperbandingkan penelitian kualitatif dan kuantitatif dari Donald Ratclift (2002):

Penelitian kualitatif:
Penelitian kuantitatif:
  • Fenomenologis
  • Induktif
  • Holistik
  • Subjective/insider centered
  • Berorientasi pada proses
  • Anthropological worldview
  • Relative lack of control
  • Tujuan: memahami sudut pandang aktor/pelaku
  • Berasumsi realitas dinamis; penggalan kehidupan
  • Berorientasi untuk mengungkap
  • Eksplanatory
  • positivistic
  • hypothetico/deductive
  • particularistic
  • objective/outsider centered
  • outcome (hasil) oriented
  • natural science worldview (alamiah)
  • berupaya mengontrol variabel
  • tujuan: menemukan fakta dan sebab musabab
  • berasumsi pada realita statis, kehidupan yang konstan
  • berorientasi verifikasi
  • convirmatory





Tidak ada komentar:

Posting Komentar